Hukum Bersahur Ketika Azan Subuh



Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Suatu hal yang membuat kami samar-samar adalah ketika mendengar hadis Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika azan subuh.
Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.”[1]
Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahawa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar subuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadis yang telah disebutkan di atas?
Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat perkataan dari ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Azan Subuh
Para ulama menjelaskan bahawa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap perkara yang membatalkan puasa). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahawa muadzin biasa mengumandangkan azan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu azan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Keadaan semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu solat subuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang azan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjidhafizhohullah.[2]
Pemahaman Hadis
Adapun pemahaman hadis Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.
Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.
Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami katakan bahawa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya.Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadis Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhumbahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
Sungguh Bilal mengumandangkan azan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan bejana (sendok, camca) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر
Sampai muadzin mengumandangkan azan ketika terbit fajar.” Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan akan riwayat yang pertama. Al Hakim katakan bahawa hadis ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi katakan, “Jika hadis tersebut shahih, maka kebanyakan ulama memahaminya bahawa azan yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah azan sebelum terbit fajar subuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum kerana waktu itu adalah beberapa ketika sebelum masuk subuh. Sedangkan maksud hadis “ketika terbit fajar” boleh difahami bahawa hadis tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau boleh jadi juga yang dimaksudkan adalah azan kedua. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, camca) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar azan pertama. Dari sini jadilah ada kesamaan di antara hadis Ibnu ‘Umar dan hadis ‘Aisyah.” Dari sini, kita lihat senada di antara hadis-hadis yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”[3]
Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa ulama salaf yang berpegang pada perkataan hadis Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan bejana (sendok, bekas) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya azan subuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “kebanyakan ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mereka merupakan pakar fiqih di berbagai negeri.”[4]
Catatan: Azan ketika masuk waktu subuh di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Azan pertama  untuk membangunkan solat malam (bangun bersahur). Azan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Subuh. Azan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Subuh.
Catatan: perkara yang sama juga berlaku di Alor Setar kedah, kebanyakan masjid di bulan Ramadhan akan Azan dua kali, azan yang pertama adalah untuk kejutkan orang ramai bangun bersahur dan azan yang kedua tanda waktu subuh telah masuk.
Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا
Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang ragu-ragu mengenai masuknya waktu subuh, maka makanlah hingga kalian yakin waktu subuh telah masuk.”
ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر
Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang engkau masih ragu-ragu.”
وعن، وكيع عن عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر
Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?” Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.” (Kerana terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap meminum air zam-zam tersebut.”[5]
Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadis Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,
هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن
“Riwayat yang ada menjelaskan bahawa (masih bolehnya makan dan minum) bagi orang yang belum yakin akan masuknya waktu Subuh. Dari sini tidaklah ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang hanya membolehkan makan sampai waktu Subuh).”[6]
Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengenai seseorang yang mendengar azan Subuh dan ia masih terus makan dan minum?”
Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala perkara yang membatalkan puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu subuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kifarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Jika mendengar azan subuh dan ia yakin bahawa muadzin mengumandangkannya tepat pada waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar subuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar,dalam keadaan semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar azan. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika azan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, kerana memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.
Sebagaimana sudah diketahui bahawa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya elektrik, maka ia pasti susah melihat terbitnya fajar subuh. Ketika itu dalam keadaan berhati-hati, ia boleh saja menjadikan jaduwal-jaduwal solat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini kerana mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”[7]
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahawa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jaduwal-jaduwal solat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan azan semacam itu, puasanya tetap sah. Kerana ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin).Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.”[8]
 Demikian Artikal yang ringkas dari kami untuk membetulkan kefahaman tentang hadis yang di atas. Tulisan ini sebagai koleksi bagi diri kami pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadis tersebut. Semoga Allah memaafkan atas kelalaian dan kebodohan kami.
Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat.Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


[1] HR. Abu Daud no. 2350. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih.
[2] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202 pada linkhttp://islamqa.com/ar/ref/66202 .
[3] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 6/312.
[4] Hasyiyah Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 6/341.
[5] Lihat Al Muhalla, Abu Muhammad Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub, 6/234.
[6] Al Muhalla, 6/232.
[7] Fatawa Ramadhan, dikumpulkan oleh ‘Abdul Maqshud, hal. 201, dinukil dari Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202.
[8] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202 pada linkhttp://islamqa.com/ar/ref/66202

Ulasan

Catatan Popular